Sabtu, 26 November 2011

bencana

Bencana sering diidentikan dengan sesuatu yang buruk. Paralel dengan istilah disaster dalam bahasa Inggris. Secara etimologis berasal dari kata DIS yang berarti sesuatu yang tidak enak (unfavorable) dan ASTRO yang berarti bintang (star). Dis-astro berarti an event precipitated by stars (peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi).

Daftar isi

 [sembunyikan

[sunting] Asal mula

Bencana adalah sesuatu yang tak terpisahkan dalam sejarah manusia. Manusia bergumul dan terus bergumul agar bebas dari bencana (free from disaster). Dalam pergumulan itu, lahirlah praktik mitigasi, seperti mitigasi banjir, mitigasi kekeringan (drought mitigation), dan lain-lain. Di Mesir, praktik mitigasi kekeringan sudah berusia lebih dari 4000 tahun. Konsep tentang sistim peringatan dini untuk kelaparan (famine) dan kesiap-siagaan (preparedness) dengan lumbung raksasa yang disiapkan selama tujuh tahun pertama kelimpahan dan digunakan selama tujuh tahun kekeringan sudah lahir pada tahun 2000 BC, sesuai keterangan kitab Kejadian, dan tulisan-tulisan Yahudi Kuno.

[sunting] Konsep

Konsep manajemen bencana mengenai pencegahan (prevention) atas bencana atau kutukan penyakit (plague), pada abad-abad non-peradababan selalu diceritakan ulang dalam ‘simbol-simbol’ seperti kurban, penyangkalan diri dan pengakuan dosa. Early warning kebanyakan didasarkan pada Astrologi atau ilmu Bintang.

[sunting] Respon terhadap bencana

Respon kemanusiaan dalam krisis emergency juga sudah berusia lama walau catatan sejarah sangat sedikit, tetapi peristiwa Tsunami di Lisbon, Portugal pada tanggal 1 November 1755, mencatat bahwa ada respon bantuan dari negara secara ‘ala kadar’. Jumlah korban meninggal pasca emergency sedikitnya 20,000 orang. Total meninggal diperkirakan 70,000 orang dari 275,000 penduduk.
Hingga dekade yang lalu, cita-cita para ahli bencana masih terus mengumandangkan slogan ‘bebas dari bencana’ (free from disaster) yang berdasarkan pada ketiadaan ancaman alam (natural hazard). Publikasi mutakhir tentang manajemen bencana, telah terjadi perubahan paradigma. Sebagai misal di Bangladesh dan Vietnam, khususnya yang hidup di DAS Mekong, yang semulanya bermimpi untuk bebas dari banjir (free from flood), akhirnya memutuskan untuk hidup bersama banjir (living with flood).
Tentunya komitmen hidup bersama banjir, tetap dilandasi oleh semangat bahwa banjir atau ancaman alam lainnya seperti gempa, siklon, dan kekeringan boleh terjadi tetapi bencana tidak harus terjadi. Di Timor, khususnya masyarakat Besikama, sudah sangat lama hidup bersama banjir. Masyarakat tradisional Besikama sebenarnya sudah mengenal tentang praktik mitigasi banjir berdasarkan konstruksi rumah tradisional mereka sejak lama, yakni rumah panggung, yang sudah sangat tidak popular karena ‘pembangunan’ mengajarkan segala segala sesuatu yang ‘modern’.

iklan

Menurut pengamatan saya, ada 3 cara ampuh untuk menjadi penulis yaitu:
1. Menulis
2. Menulislah
3. Menulislah !
Saya tidak ingat persis siapa yang pertama kali mengatakan 3 cara ampuh untuk menjadi penulis seperti di atas.
Namun, saya yakin bahwa 3 cara tersebut memang benar-benar ampuh untuk melahirkan penulis, menjadi penulis yang diartikan sebagai “orang yang menulis”.
Menurut Scoot Edelstein, penulis buku “30 Steps to Becoming a writer and getting published” juga dalam bukunya “100 Things Every Writer Needs to Know “ beliau mengatakan bahwa “Anyone who writes is a Writer !” (Siapa pun yang menulis dapat disebut penulis).
Bahkan, dengan tegas beliau juga menyebutkan bahwa jika ada yang mengatakan bahwa:
“You only become a real writer after you’ve published three books”
atau
“After you’ve written your first million words, then you can call yourself a writer”
bahkan,
“Oh, so you have a day job and write at night ? you’re really a hobbyist not a writer” ,
mereka itu adalah komentator ulung yang hanya bisa mengomentari !.
Beliau mengatakan bahwa:
“These sorts of pronouncements and judgments are all nonsense-and arrogant nonsense, at that !”
Tapi singkat cerita, pernyataan-pernyataan tersebut, ternyata berdampak melahirkan beberapa pertanyaan dalam benak saya:
Apa yang harus saya tulis?
Bagaimana cara menuliskannya?
Nah, Kalau sudah lahir pertanyaan seperti diatas, maka obat mujarab yang paling sering saya lakukan adalah “Mencoba menulis apa saja dan bagaimana pun caranya !”.
Nggak peduli saya mau menulis tentang apa / topik apa dan caranya. Pokoknya nulis aja….hehehe…
Saya juga pernah mendengarkan kata-kaya bijak berbunyi:
“Tulislah apa yang sedang kamu pikirkan, jangan pikirkan apa yang sedang kamu tulis !”
Terus terang dari pengalaman saya, kata-kata bijak tersebut terbukti benar. Tanpa saya sadari, saya dapat menulis lebih lancar dari biasanya.
Jika sebelum mendengarkan kata-kata itu, saya hanya mampu menulis selembar dua lembar bahkan hanya sebaris hingga dua baris saja.
Tapi setelah mendengar kata itu saya mampu menulis lebih banyak dari biasanya. Saya semakin bergairah dan termotivasi untuk terus menulis dan menulis. (meski jujur terkadang aktivitas ini agak terhalang juga karena beberapa aktivitas yang sangat prioritas yang harus saya lakukan terlebih dahulu).
Tetapi, seiring dengan waktu, sepertinya ada saja yang menghambat dalam diri saya. Tak jelas apa hambatan itu. Yang jelas, saya mulai bertanya-tanya kembali:
Apakah tulisan saya sudah benar-benar berkualitas?
Adakah orang yang ingin membaca tulisan saya?
Jika ada yang memuji tulisan saya, apakah karena benar-benar bagus atau hanya sekedar membangkitkan gairah saya saja agar terus menulis?
Akhirnya saya mencoba mencari tahu bagaimana sebaiknya saya lakukan utk menjawab tantangan itu dengan browsing beberapa artikel dan saya akhrnya saya dpt menemukan beberapa artikel di web tentang :
“Cara Taktis Menulis Buku”
Dari uraian artikel-artikel tersebu, saya dapat menyimpulkan beberapa hal berikut ini.
Rahasia Taktis menulis, ternyata bukan hanya Motivasi saja !
Yang harus kita lakukan selain MOTIVASI adalah melakukan Tahap demi Tahap dalam menulis, sehingga kita bisa menjadi seorang penulis, bukan cuma menulis-menulislah-menulislah (hahaha…)
Tahapan Proses standar menulis dapat dikatagorikan menjadi 5 tahap, yaitu :
1. Prewriting: Think and Plan
2. Drafting: Write and Draw
3. Revising: Making your writing better
4. Editing: Fix your mistakes
5. Publishing: Share your writing !

Jujur, saya sempat terkesimah setelah membaca tahapan proses standar menulis ini.
Ternyata, tiga cara ampuh yang pernah saya terapkan itu ternyata belum mampu mengakomodir 5 proses di atas.
Tiga cara ampuh untuk menjadi penulis itu belum dapat menjawab:
- untuk apa kita menulis,
-untuk siapa kita menulis,
-bagaimana kelak tulisan tersebut jika telah jadi
- dan pertanyaan prewriting.

Tiga tahapan yang sudah saya lalukan yaitu : Menulis-Menulislah-Menulislah ! belum memasuki tahap “making your writing better” melalui “proses revising”.
Begitu juga dengan proses “Editing”, apalagi “Publishing”.
Ternyata, dalam 5 proses tahapan tersebut akhirnya melahirkan proses-proses lainnya yang terdapat dalam setiap proses.
-Prewriting terdapat proses mengikat ide, mempertanyakan diri sendiri, hingga pemanfaatan dunia maya untuk memantapkan tahap perencanaan menulis tersebut.
Diakui atau tidak, lancar atau tidaknya seorang menulis sangat terkait erat dengan penguasaannya pada apa yang akan dia tulis.
-Selanjutnya, proses Drafting, Revising, Editing dan Publishing.
- Proses Drafting harus diawali dengan mempertanyakan pada diri sendiri tentang apa yang sudah dihasilkan dalam proses Prewriting untuk kemudian memulai draft, dengan fakta menarik tentang subjek yang akan dibahas.
Memperkenalkan salah satu poin dari poin utama, bertanya tentang sesuatu, mengutip perkataan seorang tokoh atau dengan cerita singkat.
Apa yang telah dimulai tersebut selanjutnya dijelaskan dengan informasi-informasi yang mendukung, didefinisikan dengan ungkapan yang lebih akrab, dipertahankan dengan fakta-fakta yang terjadi, digambarkan dengan spesifik hingga dibandingkan dan dikontraskan dengan contoh-contoh yang memiliki persamaan atau perbedaan.
Akhirnya, proses drafting itu pun ditutup dengan mengingatkan kembali para pembaca akan ide pokok tulisan, ringkasan akan poin-poin penting, penjagaan titik fokus pembaca dan seterusnya.
Lalu, jika proses drafting tersebut telah selesai, maka seorang penulis akan melanjutkan ke proses Revising, Editing dan Publishing.
-Melakukan proses Merevisi gunanya agar tulisan tampak lebih baik dan Mengedit agar tulisan terlepas dari beberapa kesalahan dan kekurangan yang mungkin muncul.
Setelah itu semua, berpikirlah untuk menerbitkan dan mempublikasikan apa yang telah anda ditulis.
Ada beberapa kelakar yang mengelitik sekaligus memotivasi penulis pemula seperti saya tentang hal ini,
“Jangan berpikir hanya akan menyimpan tulisan Anda di bawah kasur !”
“Apakah tulisan saya sudah benar-benar berkualitas ?”
“Adakah orang yang ingin membaca tulisan saya ?”
“Jika ada yang memuji tulisan saya, apakah karena benar-benar bagus atau hanya sekedar membangkitkan gairah saya saja agar terus menulis ?”

Hahaha…saya tertawa dan sangat tergelitik dalam hati…kenapa pusing….jangan pikirkan hal itu, yuk kita menulis !!!.
Semoga tulisan ini memberi inspirasi & manfa’at.

SAODAH (DO’A GADIS KECIL bagian 2) Agustus 5, 2011

Posted by elindasari in Lain-lain.
Tags: , , , , ,
18 comments
Separuh hari ini hampir kuhabiskan menemani Ibuku berbelanja persiapan untuk lebaran. Aku juga membeli sesuatu buat seseorang. Aku juga sudah merencanakan bahwa aku akan tetap sholat tarawih dan akan sholat di musholla yang berada di tengah kampung itu pada malam hari nanti. Aku ingin memberi surprise buat gadis kecil bernama Saodah yang kutemui dua hari lalu.
Sehabis berbuka puasa aku bergegas mengajak suamiku untuk menemaniku sholat disana. Tapi sayang semua anggota keluargaku hendak sholat di masjid dekat rumah saja. Alasannya penceramahnya kali ini uztas top.
Akhirnya aku hanya berdua saja dengan ibu ke musholla itu.
Aku dan Ibu kali ini dapat shaft agak didepan, karena kami datang agak awal. Tapi yang membuatku sedikit gelisah, Saodah dan sang nenek tak kunjung tampak. Padahal sholat tarawih akan segera dimulai. Selesai sholat tarawih aku bergegas menggulung sejadahku.
Aku dan Ibu masih melihat-lihat, siapa tahu Saodah dan nenek ada di mushola. Tapi sudah hampir habis jamaah yang pulang sang nenek dan Saodah tetap tak saya temui.
Akhirnya aku dan Ibu memutuskan untuk segera pulang ke rumah.
######
Beduk tanda Imsak terdengar, sebentar lagi Azan subuh. Aku memutuskan untuk sholat subuh dengan ayah dan ibu di mushola kampung sekalian menemani mereka mengaji sampai pagi. Aku sengaja tetap membawa sesuatu yang hendak kuberikan buat Saodah untuk antisipasi kalau nanti ketemu mereka disana.
Ei…benar saja, ternyata ketika aku memasuki kaki di halaman mushola aku melihat gadis kecil Saodah. Tapi kali ini hanya bersama dua orang anak lelaki yang sudah agak besar, tampaknya dari gandengan tangannya aku bisa menebak kalau mereka adalah kakak-kakak Saodah.
“Assalamualaikum Saodah”, sapaku dan dibalas “Waalaikumsalam” oleh mereka bertiga.
“Wah, Saodah tidak bersama nenek ?” tanyaku.
“Nanti nenek nyusul tante!”, jawab gadis kecil ini pendek.
Akhirnya kami tiba didalam musholla. Aku mulai membentangkan sejadah dan memakai perlengkapan sholat. Saodah tampak mengambil tempat 2 shaft dibelakangku. Lalu aku melihat Saodah tampak berusaha memasang mukena dari kain dengan bantuan seorang teman perempuannya yang agak besar. Tampaknya hasil mukena buatannya masih berantakan.
“Saodah, Saodah kemari !”, aku memanggil gadis kecil itu sambil melambaikan tangan. Tapi tampakannya Saodah agak ragu untuk menemuiku. Aku tetap memanggilnya beberapa kali sambil tetap melambaikan tangan.
Akhirnya Saodah menemuiku bersama beberapa orang anak perempuan yang agak besar yang membantunya tadi memasang mukena dari kain dan peniti.
“Ini, tante mau kasih Saodah sesuatu, langsung dibuka dan dipakai yah !” ujarku.
Gadis kecil ini hanya mengangguk tanda mengiyakan. Dengan cekatan aku melepaskan mukena kain yang tampaknya baru setengah jadi yang semula dikenakannya. Aku menggantinya dengan memasangkan mukena baru hasil perburuanku kemarin.
Kupasangkan dengan cepat dan akhirnya selesai. Saodah sudah memakai mukena barunya. Dan aku juga memberikannya sebuah sejadah bercorak senada dengan mukenanya. Gadis ini menjadi tampak semakin cantik. Sangat cantik dengan Mukena bermotif kotak-kotak dan sedikit hiasan bunga di sisi bawah dan kepala.
“Gimana, Saodah suka sama Mukena dan sajadah barunya?”, tanyaku kepadanya.
Tapi aku mendapati gadis mungil ini, menangis sesegukan. Yah Tuhan, kenapa dia menangis yah ?. Hatiku menjadi sedikit ciut.
Tapi diselah-selah tangisnya dia mengucapkan terima kasih….”Terima kasih tante !”….Saodah sangat suka mukena baru ini….”Terima kasih tante!”…ucap gadis kecil ini sambil berlari kecil kembali ke shafnya di belakang.
Aku sejenak terdiam. Jujur aku sempat bingung dan hatiku ciut ketika gadis ini tadi menangis. Tapi aku tahu, sebenarnya dia sangat gembira.
Ketika sholat subuh hampir dimulai, diam-diam aku menoleh kearah Saodah. Kulihat gadis kecil ini tampak merona. Wajahnya begitu ceria. Aku lihat dia sangat bersemangat untuk memulai sholat
subuhnya dengan mukena barunya.

saodah (gadis kecil )
saodah (gadis kecil )
Terima kasih yach ALLAH, karena aku telah membuat gadis kecil ini gembira sekali.
Semoga dia semakin rajin sholat setelah ini. Semoga dia menjadi anak soleha. Amien
Semoga tulisan ini membawa manfa’at dan inspirasi.

SAODAH (DO’A GADIS KECIL bagian 1) Agustus 5, 2011

Posted by elindasari in Lain-lain, Renungan.
Tags: , , , , ,
3 comments
Saodah do'a gadis kecil
Saodah do'a gadis kecil
Tak terasa Ramadhan sudah menginjak dihari yang ke 25 di tahun 2009 lalu. Hatiku sangat gembira, karena selain sebentar lagi Lebaran, kali ini aku akan dapat merayakannya bersama keluargaku beserta kedua orangtuaku di kota orang tuaku tinggal .
Sengaja malam itu setelah berbuka puasa, kami sekeluarga pergi sholat tarawih di suatu musholla yang terletak agak diujung gang di sebuah perkampungan. Menurut cerita ayahku, dulu ayah dan ibuku sering sholat disini, sebelum akhirnya di komplek perumahan mereka berdiri sebuah masjid yang lumayan megah.
Kondisi musholanya sederhana, bangunannya separuh batu dan papan difinishing dengan cat warna hijau dan putih. Meski musholla ini sedikit kecil, kondisinya bersih dan rapi, jamaah yang sholat disini, Alhamdullilah banyak, sungguh pemandangan yang menggembirakan hati saya.
Ketika memasuki mushola, saya dan ibuku bergegas meletakkan mencari tempat untuk meletakkan peralatan sholat dan membentangkan sejadah. Tapi sayang saya tidak kebagian shaft bersamaan ibuku.
Musholla ini tetap ramai dikunjungi jamaah meski sudah dipenghujung Ramadhan. Akhirnya saya dapat menempati shaft agak belakang dan bersebelahan dengan seorang nenek bersama cucunya yang berumur sekitar 6 tahun. Sambil tersenyum dan sedikit mengeser sejadahnya sang nenek mempersilahkan saya membentangkan sejadah saya. Sang nenek langsung mengenali saya sebagai pendatang baru.
“Jarang sholat tarawih disini nak ?” sapa sang nenek ramah.
“Iyah, nek…saya baru datang dari Jakarta, saya lagi pulang kampung dan akan berlebaran di rumah orangtua saya !”, jawabku tak kalah ramah.
“O..anak orang Jakarta rupanya, pantas nenek tak pernah lihat”, ujar si nenek lagi.
Ternyata obrolan ringan saya dan sang nenek sangat diperhatikan gadis mungil yang sedari tadi tampak mengamatiku. Gadis kecil ini sepertinya mengamatiku dari ujung kaki hingga kepala. Aku hanya tersenyum, dan jujur sedikit ge-er juga rasanya, dipandangi seperti ini.
“Ini cucu nenek ?”, tanya saya.
“Iyah, ini Saodah, cucuku yang paling kecil. Cucuku ada tiga, yang dua lelaki, sudah agak besar, mereka juga sholat didepan. Mak mereka kerja di Malaysia jadi TKI, bapak mereka sudah tidak ada. Aku yang urus mereka disini”, ujar si nenek sambil memasangkan kain panjang yang dipeniti membentuk mukenah di badan dan muka Saodah.
Saodah tampaknya menurut saja sambil sesekali menyeka rambutnya agar sang nenek mudah memasangkan peniti.
“Dah…selesai, langsung duduk yang rapi yah, agar tak gampang lepas mukenanya !” ujar sang nenek menasehati Saodah.
Sang cucu tampaknya langsung menurut. Tapi dari bola matanya yang lugu aku dapat merasakan sedari tadi kalau dia memperhatikan pakaian dan mukena serta sejadah yang kupakai. Seakan ada keinginan terpendam di hatinya.
######
Selesai sholat tarawih kuperhatikan Saodah kecil masih tampak khusu’ berdoa, matanya dipejamkan, dan tangan kecilnya tampak beberapa kali mengusap mukanya. Kudengar suara Saodah kecil berkali-kali mengucapkan kata-kata yang sama. Lalu dia mengakhirinya dengan kata Amien, dan matanya dibukanya perlahan.
Wow…gadis kecil ini khusu’sekali berdo’a !. Aku salut. Meski usianya masih belia, tampaknya sedari sholat tarawih tadi, dia melakukannya dengan khusu’. Benar-benar gadis mungil yang saleha, pujiku dalam hati.
Sambil membenahi sejadahku, kucoba bertanya pada gadis kecil ini, “Saodah, tadi berdo’a apa saja ?”, rasa ingin tahuku tak dapat kutahan.
Saodah menjawab dengan mimik sedikit malu “Tadi aku berdo’a sama ALLAH, supaya Emak nanti sa’at pulang bawa banyak duit buat nenek, kakak dan Saodah. Saodah kepengen nanti kalau emak pulang bisa beliin Saodah mukena bagus kayak tante. Biar kalau Saodah mau sholat nenek nggak usah pasang peniti-peniti lagi !”.
Subhanallah….hatiku langsung terjerebap rasanya mendengar pengakuan gadis kecil ini yang begitu polos. Aku tersenyum, mendengar pengakuannya.
Terima kasih yach Robbi..lewat sentuhan kalimat dari mulut mungilnya…betapa Engkau telah meningatkanku, bahwa dalam keadaan terbatas apapun, kita harus selalu ingat pada MU, menghadap pada MU, meski dengan kain seadanya.

Yah Robbi, ampunkan hamba Mu yang terkadang lalai, menghadap MU dan terkadang tidak disiplin meski begitu banyak nikmat yang telah KAU beri padaku.

masjid

Grand entryways and tall towers, or minarets, have long been and continue to be closely associated with mosques. However, the first three masajid were very simple open spaces on the Arabian Peninsula. Masajid evolved significantly over the next 1,000 years, acquiring their now-distinctive features and adapting to cultures around the world.

[edit] Diffusion and evolution

The Great Mosque of Kairouan, built in 670, is the oldest and most prestigious mosque in the western Islamic world,[4] it is located in the city of Kairouan, in Tunisia.
The Javanese style Grand Mosque of Yogyakarta, Indonesia.
Mosques were built outside the Arabian Peninsula as Muslims moved to other parts of the world. Egypt became occupied by Muslim Arabs as early as 640, and since then so many mosques have appeared throughout the country that its capital city, Cairo, has acquired the nickname of city of a thousand minarets.[5] Egyptian mosques vary in amenities, as some have Islamic schools (madrassas) while others have hospitals or tombs.[6] Built soon after the conquest of northwest Africa, the first mosque built in this region is the Great Mosque of Kairouan (in Tunisia) founded by the Umayyad general Uqba Ibn Nafi during the second half of the 7th century and considered as the oldest place of worship in the western Islamic world.[7][8] The Great Mosque of Kairouan, which is one of the most significant and best preserved examples of early Islamic mosques,[8] served due to its architectural characteristics as a model to many later mosques especially in North Africa and Andalusia.[7] Mosques in Sicily and Spain do not primarily reflect the architecture of Visigothic predecessors, but instead reflect the architecture introduced by the Muslim Moors.[9] It is hypothesized, however, that there were some elements of pre-Islamic architecture which were Islamicized into Andalusi and Maghribi architecture, for example, the distinctive horseshoe arch.[10]
This wooden mosque Kruszyniany, Poland shows the influence of Central European folk religious architecture.
The first Chinese mosque was established in the eighth century in Xi'an. The Great Mosque of Xi'an, whose current building dates from the eighteenth century, does not replicate many of the features often associated with traditional mosques. Instead, it follows traditional Chinese architecture. It is distinguished from other buildings by its green roof (Buddhist temples are often built with a yellow roof). Mosques in western China incorporate more traditional elements seen in mosques in other parts of the world. Western Chinese mosques were more likely to incorporate minarets and domes while eastern Chinese mosques were more likely to look like pagodas.[11]
Masjid Kampung Hulu in Malacca, Malaysia.
By the fifteenth century, Islam had become the dominant religion in Java and Sumatra, Indonesia's two most populous islands. As with Hinduism and Buddhism before it, the new religion and its accompanying foreign influences were absorbed and reinterpreted, with mosques given a unique Indonesian/Javanese interpretation. At the time, Javanese mosques took many design cues from Hindu, Buddhist, and even Chinese architectural influences. They lacked, for example, the ubiquitous Islamic dome which did not appear in Indonesia until the 19th century, but had tall timber, multi-level roofs not too dissimilar to the pagodas of Balinese Hindu temples still common today. A number of significant early mosques survive, particularly along the north coast of Java. These include the Mesjid Agung back in Demak, built in 1474, and the Grand Mosque of Yogyakarta that feature multi-level roofs. Javanese styles in turn influenced the architectural styles of mosques among Indonesia's Austronesian neighbors: Malaysia, Brunei and the southern Philippines.
In India, the first mosque has been claimed as Cheraman Juma Masjid in the early 7th century, but this claim is dubious. They diffused into a majority of India only during the reign of the Mughal empire in the sixteenth and seventeenth centuries. The Mughals brought their own form of architecture that included pointed, onion-shaped domes, as seen in Delhi's Jama Masjid. Mughal style became the dominant feature in many of the old mosques in India, Pakistan and Bangladesh.
Mosques first arrived in the Ottoman Empire (mostly present-day Turkey) during the eleventh century, when many local Turks converted to Islam. Several of the first mosques in the Ottoman Empire, such as the Hagia Sophia in present-day Istanbul, were originally churches or cathedrals in the Byzantine Empire. The Ottomans created their own design of mosques, which included large central domes, multiple minarets, and open façades. The Ottoman style of mosque usually included elaborate columns, aisles, and high ceilings in the interior, while incorporating traditional elements, such as the mihrab.[12] Today, Turkey is still home to many mosques that display this Ottoman style of architecture.
Mosques gradually diffused to different parts of Europe, but the most rapid growth in the number of mosques has occurred within the past century as more Muslims have migrated to the continent. Major European cities, such as Rome, London, and Munich, are home to mosques that feature traditional domes and minarets. These large mosques in urban centers are supposed to serve as community and social centers for a large group of Muslims that occupy the region. However, one can still find smaller mosques in more suburban and rural regions throughout Europe where Muslims populate, an example of this is the Shah Jahan Masjid in Woking, the first purpose built mosque in the UK.
Mosques first appeared in the United States in the early twentieth century, the likely first being one in Maine built by Albanian immigrants in 1915.[13] as more immigrants continue to arrive in the country, especially from South Asia, the number of American mosques is increasing faster than ever before. Whereas only two percent of the country's mosques appeared in the United States before 1950, eighty-seven percent of American mosques were founded after 1970 and fifty percent of American mosques founded after 1980.[14]

[edit] Conversion of places of worship

The Umayyad Mosque in Damascus, Syria was a Byzantine church before the Islamic conquest of the Levant. Some ecclesiastical elements are still evident.
According to early Muslim historians, towns that surrendered without resistance and made treaties with the Muslims gave the Muslims permission to take their churches and synagogues. One of the earliest examples of these kinds of conversions was in Damascus, Syria, where in 705 Umayyad caliph Al-Walid I bought the church of St. John from the Christians and had it rebuilt as a mosque in exchange for building a number of new churches for the Christians in Damascus. Overall, Abd al-Malik (Al-Waleed's father) is said to have transformed 10 churches in Damascus into mosques.
The process of turning churches into mosques was especially intensive in the villages where most of the inhabitants converted to Islam. The Abbasid caliph al-Ma'mun turned many churches into mosques. Ottoman Turks converted nearly all churches, monasteries, and chapels in Constantinople, including the famous Hagia Sophia, immediately after capturing the city in 1453 into mosques. In some instances mosques have been established on the places of Jewish or Christian sanctuaries associated with Biblical personalities who were also recognized by Islam.[15]
Mosques have also been converted for use by other religions, notably in southern Spain, following the conquest of the Moors in 1492.[16] The most prominent of them is the Great Mosque of Cordoba. The Iberian Peninsula & Southeast Europe are other regions in the world where such instances occurred once no longer under Muslim rule.